Sekolah Jadi Lahan Bisnis
Ditulis oleh Agnes CyberSchool
Thursday, 01 March 2007
SAAT ini, sekolah yang cenderung dijadikan lahan bisnis semakin banyak. Rentangnya pun semakin lebar, mulai dari playgroup sampai pendidikan perguruan tinggi. Trend beriklan sekolah tidak ubahnya sepeprti iklan produk yang sering kita lihat di layar kaca atau seperti produk kebutuhan sehari-hari yang dijual di supermarket. Cenderung gamblang dan tanpa tedeng aling-aling. Meski ada juga yang masih ''malu-malu''. Bersembunyi di balik etika dan misi suci ''mencerdaskan kehidupan bangsa''.
Tetapi apa yang kemudian terjadi? Kita tidak mencoreng arang atau memojokkan, tetapi begitulah kenyataannya. Memang, tidak semua lembaga pendidikan cenderung mengelola lembaganya seperti perusahaan yang selalu ingin profit. Masih banyak juga yang berada di jalur yang benar, kemudian menghasilkan lulusan yang mumpuni dan diterima pasar tenaga kerja.
Namun, selain persoalan di atas, ada satu fakta lagi yang memang sulit dibantah yakni biaya pendidikan kita memang mahal. Lebih mahal dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Upaya pemerintah, yang menyadari dan melakukan langkah terobosan seperti BOS, dinilai banyak pihak tidak terlalu banyak membantu. Walau harus diakui, keberadaan BOS di satu sisi menolong, tetapi toh tidak banyak membantu. Apalagi, di tengah situasi sulit seperti saat ini, biaya pendidikan yang mahal semakin menambah berat beban rakyat.
Lalu solusinya bagaimana? Pemerintah telah meluncurkan BOS. Ekspektasi rakyat, tentu agar dana itu tidak disalahgunakan. Selain itu, pemerintah juga diminta menambah subsidi, terutama di pendidikan dasar dan menengah karena menyangkut wajib belajar sembilan tahun.
Kalau kemudian kita masih melihat kecenderungan beberapa lembaga pendidikan lebih menampakkan wajah perusahaan, tentu kita kembalikan hal ini kepada pemerintah sebagai regulator dan lembaga itu sendiri. Sebagai regulator, pemerintah tentu mempunyai kewenangan untuk menegur dan mengarahkan. Sedangkan lembaga itu sendiri diingatkan bahwa mereka punya tanggung jawab sosial dan moral dalam memajukan pendidikan di negeri ini, bukan semata-mata mengejar keuntungan.
Dengan demikian, semua pihak mempunyai tanggung jawab terhadap mutu anak didik yang notabene merupakan generasi penerus untuk menggerakkan roda kemajuan negeri ini. Kita tentu tidak ingin melihat anak usia sekolah tidak bisa melanjutkan pendidikan karena keterbatasan biaya, dipaksa putus sekolah karena himpitan ekonomi dan sebab-sebab lain. Atau kita juga tidak ingin karena mutu guru yang jelek, mutu sekolah yang rendah akan menghasilkan output tidak bertanggung jawab yang justru menjadi beban di masyarakat.
Apa pun persoalannya, sesungguhnya soal pendidikan merupakan sebuah masalah besar. Di satu sisi pemerintah mewacanakan anggaran pendidikan yang begitu tinggi, sementara di sisi lain faktanya berbicara lain.
Selain itu, dari dulu kita juga berharap negeri ini punya cetak biru pendidikan yang komprehensif. Artinya, punya satu arahan baku sehingga tidak selalu berganti-ganti kebijakan. Ungkapan ganti menteri ganti kebijakan, tentu tidak kita inginkan lagi. Terlalu sering dunia pendidikan kita dijadikan kelinci percobaan yang ujung-ujungnya bukan malah mengarah ke perbaikan mutu, namun justru makin menjauhkannya sehingga kalah jauh dibandingkan dengan kualitas pendidikan negara tetangga.
Sekolah bisnis dan bisnis sekolah, mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Tetapi begitulah, yang disebut terakhir itulah yang kini banyak kita lihat. Bukannya membantu mencerdaskan, tetapi lebih banyak membuat dahi berkerut ketika bisnis sekolah itu membuat kantong para orangtua bolong.
Sumber : Bali Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar